Rabu, 15 April 2015

Kampung Naga - Lestari Alam, Lestari Desa

Salah satu kategori wisata yang bisa dilakukan adalah wisata masyarakat budaya. Mengunjungi tempat-tempat yang masyarakatnya masih menyimpan dan memelihara warisan budaya tradisional di tengah generasi yang serba digital akan menambah insight kita tentang kehidupan. Membuka pikiran bahwa hidup itu tidak hanya berdasar materialisme dan kapitalisme yang diajarkan Karl Marx atau Friedrich Engels. Ada juga orang-orang yang hidup karena mempertahankan budaya leluhurnya.

Welcome to Kampung Naga
Kampung Naga. Itulah sebutan untuk kampung budaya yang berada di Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat. Saat membaca namanya jangan berpikir bahwa kampung ini adalah tempat para naga berkumpul. Menurut pemandu wisata yang menemani perjalanan kita, memang tidak ada yang tahu pasti dari mana asal nama Kampung Naga tersebut. Menurutnya, Kampung Naga ada yang mengartikan kampung di antara bukit. Yang dalam bahasa Sunda yaitu “Kampung Dina Gawir”, kata “naga” diambil dari “Dina Gawir”. Sedikit aneh saya mendengarnya. 


Kemudian saya mengetahui kalau hilangnya sejarah Kampung Naga ini karena pernah terjadi pembakaran yang menghanguskan semua perkampungan itu. Pembakaran yang dilakukan oleh kelompok subversif DI/TII. Sehingga, ternyata Kampung Naga yang sekarang adalah Kampung Naga yang “baru”. Yang dibangun ulang dan “dihidupkan” kembali setelah tragedi yang merupakan akibat dari perbedaan ideologi politik itu.

Alam

Perkampungan Kampung Naga
Memang saya jadi berpikir nilai sejarah kampung ini sudah hilang. Inilah generasi baru yang hidup sebagai kelompok masyarakat yang ingin menjadi contoh dan objek penelitian kehidupan masyarakat Sunda tradisional. Masyarakat yang mengedepankan sinergi mikro dan makro. Manusia dan alam.
Menuruni ratusan anak tangga dari pintu masuk menuju perkampungan, kita akan disuguhi sebuah pembauran antara alam dan perkampungan. Sungai yang deras, sawah yang saat itu sedang ijo royo-royo, dan rumah-rumah beratap injuk melebur di bawah kesahajaan dan keteguhan hutan dan perbukitan.

Kita berkeliling menuju perkampungan yang semua rumahnya saling berhadapan, yaitu ke arah utara dan selatan. Semua masyarakat hidup dari hasil bertani. Terdapat beberapa tempat penumbukan padi yang diletakkan di atas kolam ikan. Mungkin kulit gabahnya digunakan sebagai pakan ikan.
Namun ada yang janggal saat memasuki rumah pemandu wisata kita. Di rumah itu ternyata terdapat TV dan pemutar CD. Alat eletronik ada, namun listrik tidak pernah diizinkan masuk ke desa itu. Sebenarnya lucu, namun pasti ada alasan dari Kuncen (sebutan petinggi adat disana) dan masyarakat sana.

Ternyata ada juga penjual mie bakso di dalam perkampungan. Lebih jauh lagi menuju balai desa, terdapat penjual souvenir-souvenir. Namun bukan souvenir khas Kampung Naga, melainkan kerajinan biasa. Bahkan ada yang bertuliskan “Baduy”.

Sinergi

Ijo Royo-Royo
Berbeda dengan Baduy yang beragama Sunda Wiwitan, masyarakat Kampung Naga ini beragama Islam. Selain itu mereka juga sudah mengikuti sistem pendidikan “normal”. Sistem pemerintahnya pun, selain adat, mereka juga mengikuti sistem pemerintah daerah sesuai dengan perkampungan biasa. Bahkan tidak sedikit anggota masyarakat yang keluar dari Kampung Naga untuk mendapatkan pekerjaan dan pendidikan di luar, layaknya masyarakat pada umumnya. Dan saat mereka kembali ke sana, mereka tetap mengikuti adat istiadat disana.

Agama, pendidikan modern, pemerintahan modern, dan adat istiadat serta budaya tradisional peninggalan leluhur bersinergi membentuk masyarakat Kampung Naga. Mencipatakan komunitas yang layak tidak hanya sebagai tujuan wisata namun juga sebagai objek penelitian bidang antropologi maupun etnologi.

Kampung naga tetap melakoni hidup bersama dengan alam. Mereka menghidupkan alam dan alam menghidupi yang mereka.


Indrarama
Jakarta 15 April 2015 18:48

Tidak ada komentar :

Posting Komentar