Jumat, 21 Maret 2014

Dieng's "Tatto"

“Art completes what nature cannot bring to finish. The artist give us knowledge of nature’s unrealized ends.”


Tenang Merangsang, Telaga Cebong
Aristoteles, filsuf terkenal Yunani yang namanya dipakai sebagai salah satu kawah di Bulan (Lunar Crater), mengingatkan kita bahwa kita harus adil dalam menikmati alam. Alam memang diciptakan oleh Sang Maha Artistik. Namun, karya-Nya juga tidak sebatas pada benda mati, bumi dan semesta. 

Dia juga mencipatakan manusia dan sedikit banyak menurunkan keartistikan-Nya. Alam akan lebih terlihat keindahannya jika ditambah seni dari seorang Artist atau Seniman, yaitu manusia. Lebih global, manusia tentu berperan banyak sehingga kita bisa tahu bahwa alam itu indah, dengan atau tanpa memodifikasinya. Tentu saja dengan mengesampingkan manusia-manusia perusak, yang merupakan kutukan bagi bumi.

Itulah yang ada di dataran tinggi Dieng. Paket lengkap wisata yang masuk wilayah Wonosobo dan Banjarnegara. Wisata alam yang manis dengan taburan seni dari orang-orang dulu maupun sekarang. 

Seni itu luas, karena aku bukan orang seni jadi aku gambarkan seni secara awam. Di Dieng, dengan modal keindahan alamnya, manusia membuat “tato-tato” artistik. Seni cerita, dengan banyaknya legenda, budaya, agama dan mitos. Seni bangunan dengan candi-candinya. Dan tentu saja agar kita bisa menikmati semua itu butuh manajemen. Jangan salah, manajemen dalam bahasa Prancis kuno, menagement, itu artinya seni melaksanakan dan mengatur. Seni juga.

Telaga Warna
Selama dua hari aku menikmati segala keindahan dan keramahan masyarakat desa dengan ketinggian diatas 2000 mdpl itu. Dieng Plateau Theatre adalah yang terakhir aku datangi. Bioskop seharga 4000 dengan durasi 23 menit. Bioskop mini ini cukup oke sebagai penutup. Filmya all about Dieng. Termasuk tragedi Kawah Sinila tahun 1979 yang menewaskan 149 warga desa karena monster gas CO2. Seni video.

Gagahnya puncak Gunung Sindoro. Tebing curam puncak Gunung Pakuwaja. Goresan-goresan hijau anomali namun harmonis. Kurang lebihnya itulah pemandangan dari puncak Bukit Sikunir yang sunrisenya dikenal dengan “Golden Sunrise”.

Aku ingat kalimat grup band Oasis saat live di Manchaster, “Lazy is being free to do anything”. Maka, saat yang lain mengejar sunrise aku masih saja ngekep sleeping bag. Malas bangun. Apalagi setelah ketar-ketir tidak bisa tidur nyenyak karena angin kencang dan hujan lebat semalaman. Dan, sukses mematahkan satu frame tendaku.

Malam itu memang ironis. Di tepi Telaga Cebong yang tenang, mendadak gerimis tipis romantis berubah menjadi hujan yang makin merapat dengan angin kencang. Tapi mungkin saja itu skenario Sang Maha untuk melengkapi kesendirianku. Karena paginya, telaga yang tenang pun bersenandung, nyiur melambai, angin sepoi dan kesabaran para pemancing bisa kunikmati. Bahkan matahari pun harus rela hanya melihat dari balik punggungku.

Mengambil setting 1000 langkah mundur. Diluar desa tertinggi di Jawa, Desa Sembungan, aku menikmati salah satu lokasi dengan legendanya. Kawah Sikidang. Kawah buah percintaan menyakitkan. Kisah cinta Raja yang masyhur tapi berkepala kijang (kidang), Raja Kidang Garungan, dengan putri yang entah kulitnya lebih putih dari kulit Shanti atau tidak, Shinta Dewi. Raja itu dikubur hidup-hidup oleh Sang Putri saat menjalankan syarat pinangan yaitu membuat sumur. Raja yang marah mengeluarkan jurus sehingga bumi Dieng bergetar dan meledak membentuk kawah. Selain membuat kawah, Raja juga mengutuk keturunan Sang Putri akan menjadi rastafarian alias berambut gimbal. Bob Marley keturunan Sang Ratu juga, kah ? Seni literatur, legenda.

Tak jauh dari Kawah, dengan segala promosi dikenallah Telaga Warna sebagai icon Dieng. Dengan loket dan fasilitas yang tertata rapi, Telaga Warna adalah tempat yang wajib dikunjungi. Masuk kesana ada dua telaga yaitu, Telaga Warna dan Telaga Pangilon. Selain itu ada goa-goa kecil untuk semedi. Telaga Warna saat itu berwarna hijau kental. Konon warnanya bisa berubah-ubah. Tergantung apa, mungkin mood terhadap pengunjung. Sedangkan Telaga Pangilon tampak bening.

Candi
Dan yang pertama aku kunjungi adalah karya seni manusia yang terukir di alam Dieng. Kompleks Candi. Aku sebenarnya hanya melihat candi sebagai bangunan tua tanpa tahu maksudnya. Candi dengan nama-nama tokoh Mahabharata itu benar-benar karya seni di atas seni. Candi berukuran kecil ini adalah peninggalan Hindu sebagai agama masyarakat Dieng zaman dulu. 

Keberadaan candi-candi itu punya legenda. Di jagad pewayangan Jawa, menurut Pujangga terkenal dari Kerajaan Mataram, R.N. Ronggowarsito, candi-candi itu merupakan tempat pertapaan Manumanasa. Pertapaan Saptaarga (gunung dengan tujuh puncak) namanya. Kelak Manumanasa adalah nenek moyang keluarga Bharata dan ia juga menjadi guru bagi Ki Lurah Badranaya alias Semar.

Sarat akan legenda, seni, budaya, kepercayaan dan tatanan masyarakat yang beragam, menjadikan Dieng seolah kahyangan yang akan abadi di kaki langit Jawa Tengah.

~~ Salam Dolan, Cuk~~

Tidak ada komentar :

Posting Komentar