Minggu, 10 November 2013

Sejarah Perkembangan Sang Ibu Kota

“Bangunan sentral di kawasan Kota Tua, Jakarta yang letaknya di areal Taman Fatahillah ini mencatat perkembangan kota pelabuhan yang sekarang menjelma menjadi kota metropolitan, Jakarta”


Bangunan Museum Sejarah JakartaJelajah museum kali ini saya menyambangi museum yang banyak orang salah dalam menyebutkan namanya. Seperti halnya Museum Gajah yang sebenarnya adalah Museum Nasional, museum ini pun nama aslinya adalah Museum Sejarah Jakarta. Tapi, museum yang terletak di Jalan Fatahillah ini lebih dikenal dengan nama Museum Fatahillah. Ternyata disamping karena letaknya, penamaan tersebut untuk mengenang pemberi nama Jayakarta yang tadinya Sunda Kelapa yaitu Pangeran Fatahillah dari kerajaan Demak tahun 1526.

Museum yang menempati bangunan bergaya neo-klasik ini dulunya adalah kantor balai kota Batavia pada masa kolonial Belanda lengkap dengan penjara bawah tanahnya. Dari luar, tampak kesan bangunan klasik khas Belanda yang pembangunannya dimulai tahun 1620, dengan kubah yang ada arah mata angin di ujung atapnya dan serambi di kedua sisinya. Sekarang bangunan ini diperuntukan sebagai ruang pamer pada lantai 1 dan 2, dan ada taman, kantor administrasi, dan kantin di bagian belakangnya.

Melewati gerbang sejarah (baca : pintu masuk), kita langsung disambut penjaga loket. Dengan membayar tidak lebih dari 5000 rupiah kita sudah mendapat ijin menembus zaman -zaman perkembangan Jakarta.Untuk mendapatkan informasi yang lebih efisien sebaiknya kita mengikuti peta yang sudah menujukan nomor ruangan yang diurutkan berdasarkan zaman. Di lantai 1, kita bisa mulai dengan memasuki ruangan sebelah kanan dari loket. Disana ada informasi mengenai Jakarta, foto gubernur (baru sampai Bang Yos) dan ada warung rokok pinggir jalan. Tapi sayang, tidak dijelaskan mengapa warung pojok dan becak dipajang disana.


Merunut pada setiap ruangan selanjutnya, kita disuguhi berbagai replika, prasati dan pajangan dari zaman prasejarah dan kerajaan-kerajaan di sekitar Sunda Kelapa. Saya sempat bertanya pada pemandu wisata yang sedang memandu bule-bule, apakah Prasati Ciaruteun yang ada disana asli atau replika. Si guide menjawab asli, padahal saya tahu kalau itu replika. “itu asli mas” ujarnya yakin. Patut dipertanyakan nih guide. Lanjut lagi, kita akan memasuki zaman kolonial Belanda dan Jepang serta hal-hal yang berbau Betawi.

Di lantai 2 isinya kebanyakan meubel-meubel tua dan ruangan-ruangan pertemuan yang digunakan pada zaman Belanda. Ada kursi, meja, lemari bahkan cermin besar disana. Di lantai 2 ini juga saya sempat menguping penjelasan guide yang salah. Saat sampai di replika lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro”, si guide menjelaskan lukisan tersebut adalah lukisan Tuanku Imam Bojol. “Darimana sumbernya itu bang, udah jelas ada judul tulisannya.” Saya membatin. Tapi tak apa lah bertemu rombongan bule itu lagi, si anak yang cewenya, cantik. Hehehe.

Meriam Si Jagur On TargetDi bagian taman, ada 2 pajangan menarik yaitu patung dewa Hermes yang saat itu sedang dipugar. Saya selalu bertanya-tanya kenapa banyak sekali dewa Hermes di museum-museum Jakarta. Yang menjadi perhatian selain penjara bawah tanah yang gelap dan masih lengkap dengan besi-besi bulat tentu saja meriam si Jagur yang berlambang “jempol kejepit” atau dalam bahasa portugis “Mano in Figa” yang berarti kesuburan dan kepercayaan. Meriam itu sangat anggun dan unik, ada tulisan huruf romawi yang berbunyi “Ex me ipsa renata sum” yang artinya “saya lahir kembali dari diri saya”. Sayang meriam bernilai historis dan spiritual tinggi yang memiliki berat 3,5 ton itu masih banyak yang tidak menghargai. Ada yang kadang menertawakan lambang tangannya bahkan menungganginya untuk berfoto.

Bersantai di taman Museum ini cukup menyenangkan, ada penjual makanan dan adem pepohonannya kontras dengan lapangan Taman Fatahillah yang terik kala siang.


~~ Salam Dolan ~~

Tidak ada komentar :

Posting Komentar