Rabu, 01 Januari 2014

Jalan Dalam Janji

“Alasan jalan-jalan itu bisa beragam, ada yang berlibur, bekerja, kunjungan, dan lain-lain tergantung kita memaknainya.”


Kampung Baduy
Sebenarnya saya mau bercerita tentang trip ke Suku Baduy, Banten. Tapi karena saya hanya berada tiga rumah dari pintu masuk Baduy dan mandi di WC umum seharga 4000, apa yang mau diceritakan?

Rencana ke Baduy ini sudah cukup matang sebenarnya. Sudah browsing angkutan kesana, tentang Suku Baduy, dan minta kontak orang Baduy Luar bernama Pak Syarif dari teman kantor saya, Mbak Aruna namanya. Dari dia saya dapat info berguna dan karena dia juga judul tulisan ini seperti judul cerpen.

Ceritanya, beberapa waktu lalu anak XL termasuk Mbak Aruna berkunjung ke Baduy dan bermalam di tempat Pak Syarif. Karena tahu saya mau kesana, dia memberi titipan buat Pak Syarif. Sepertinya dia tidak memperhitungkan saya sebagai cowo, yang males ribet, saat memberi titipan. Tak terbayang titipannya adalah foto berfigura berukuran sekitar 60 x 50 cm. Saya bakal oper-oper angkot dengan nenteng-nenteng ini?

Tapi sudah terlanjur dia bawa, ya sudah saya sanggupi saja. Pulang kantor masih semangat, Didot pun masih memberi kabar siap berangkat. Tapi, lha kok, pas saya sudah packing dan siap berangkat, tiba-tiba Didot cancel karena ada masalah kerjaan. Glek! Berasa beneran jum'at keramat pas di hari Bu Atut, Gubernur Banten ditahan KPK.

Ini Hasilnya Misi Saya
Tapi, dengan hati yang mantap, saya memutuskan untuk tetap kesana karena sudah janji memberikan titipan. Berasa berjiwa satria sekali saya kalau membayangkan ketetapan hati saya saat itu. Saya berasa seperti Bhisma atau Karna di ranah Mahabharata yang sumpahnya tidak pernah dilanggar.

Paginya, 21 Desember, saya berangkat dengan menenteng figura. Lima jam total saya sampai di Ciboleger (gerbang masuk Baduy). Dengan oper bus dua kali, ojek, dan elf, saya tetap setia pada janji.

Di Baduy, langsung saya menemui Pak Syarif yang kata Mbak Aruna anaknya cantik, dan Didot merasa bahwa itu jodohnya. Saya juga merasa. Setelah titipan saya berikan, tuntas sudah misi saya. Rumah Pak Syarif begitu nyaman dengan atap rumbia dan lantai kayu berbentuk panggung yang merupakan ciri rumah di Baduy.

Saya bingung mau kemana. Tanpa teman ditambah budget untuk sewa guide sendiri juga tidak ada. Saya hanya numpang merokok, baca buku, ngobrol dan ngopi di teras rumah Pak Syarif. Malamnya saya nonton final Sea Games sepak bola, Indonesia vs Thailand. Saya memutuskan cepat tidur agar cepat besok dan membunuh kebosanan dengan jalan-jalan.

Tapi baru saja melek ternyata diluar hujan. Sial, feeling saya tidak bisa kemana-mana. Dan benar, hujan tidak berhenti sampai saya pulang. Yaahh, saya hanya duduk meratap di teras lagi. Satu iklan yang saya ingat “Truk aja gandengan, masa om engga”. Jleeb!

Tapi tidak mungkin semuanya buruk. Anaknya ternyata beneran cantik. Nilai 8,721 dari 10 lah! Sambil menenun, aaa, film kolosal banget rasanya. Semalam itu juga saya jadi seperti punya keluarga baru saat makan malam. Di ruang tengah yang luas, bercahaya lampu tempel, ikan asin dan pindang jadi makhluk yang ikut melengkapi kesakralan desa itu.

Seperti apapun alasannya dan seberat apapun kita jalan, semua tergantung kita memaknainya. Biksu Tong dan muridnya mungkin lebih berat perjalanannya saat ke barat lagi mengembalikan kitab suci pada Kera Sakti 5.

Tak ada penyesalan karena saya dapat info berguna untuk mengulangi lagi trip ke Baduy. Saya merasa jiwa Bhisma seaakan bersemayam sejenak di diri saya. Jiwa pahlawan terbesar di Mahabharata yang apik digambarkan oleh sastrawan Yanusa Nugroho dalam cerpennya "Setubuh Seribu Mawar". Hanya imajinasi, sih!

~Salam Dolan, Cuk~

Tidak ada komentar :

Posting Komentar