Sabtu, 20 September 2014

Lampu Jalan

Apakah malam di dunia ini selalu sama? Kata orang-orang begitu. Malam adalah penunjuk separuh hari dengan gelap sebagai cirinya. Bertolak belakang dengan siang yang terang. Malam adalah sisi baik cahaya matahari yang masih mau membagi cahayanya untuk mendandani bulan. Walaupun cahaya bulan entah masih dianggap sebagai cahaya atau tidak. Karena bagi banyak orang bulan hanya benda alam yang fungsinya sudah tidak diperhitungkan lagi. Malam bagi orang kebanyakan adalah saat yang dimana kesunyian dan keheningan meluluhkan semua kelelahan bekerja di siang hari. Menjadikan malam yang selalu sama yaitu malam adalah tentang lelap.

Bagiku malam tak ada bedanya dengan siang. Malam dan gelapnya bukan hanya soal waktu. Malam hanya sebuah kata, dan gelapnya adalah misteri. Misteri hidupku sendiri yang tak pernah dapat aku jelaskan. Kegelapan menjadi kehidupan. Dan kehidupanku adalah kegelapan itu sendiri.

Di kota ini, dari balik kardus di samping kali yang penuh polusi, aku dilahirkan. Bukan dari rahim seorang ibu di rumah sakit bersalin dengan bidan atau dokter kandungan yang sudah mengenalku sebelum aku lahir. Aku lahir dari gelap, aku lahir dari denyut jantung kota yang sedikit kejutan saja akan membuatnya mati kena serangan jantung, orang tuaku adalah debu yang mengusap kegelisahan kota ini, dan kardus ini adalah rahim ibuku.


Aku hanya sendiri. Bahkan mungkin aku melahirkan diriku sendiri. Yang menyaksikan kelahiranku hanya kucing hitam dengan tatapan mata berwarna kuning, satu-satunya permata yang pernah aku lihat di muka bumi ini. Saat keluar dari kardus itu, tak ada cahaya yang menyinari kecuali cahaya lampu jalan yang remang dan kadang mati. Tak ada yang menyambut tangisku, bahkan kalaupun saat lahir aku tertawa, tak akan ada yang mau mendengarnya. Aku sendiri, dan hanya sendiri. Hanya berteman gelap yang tetap setia namun tak pernah bisa berbuat apa-apa dalam kehidupanku.

Tak pernah ada ASI esklusif. Baru saja aku lahir, aku sudah meneguk sebotol alkohol murahan. Aku sudah pandai menghisap rokok. Bahkan tak jarang bercampur dengan daun ganja. Sambil berjalan menyusuri kegelapan hanya bercahayakan lampu jalan yang remang dan kadang mati, aku memulai hidupku. Sebagai sampah. Begitulah yang aku simpulkan dari pandangan mata orang-orang, dari bahasa tubuh mereka, dari cibiran mereka, dan dari aturan yang mereka percayai benar adanya. Aturan hidup yang memisahkan kebaikan dan keburukan dalam dua kotak yang tak mungkin bertukar.

Aku sangat tidak suka siang. Secerah apapun matahari, seindah apapun fajar dan senja, selama masih ada cahaya matahari maka wajah orang-orang yang memberiku nama orang pinggiran, orang sisa-sisa, pemabuk, dan sampah masyarakat hingga penjahat akan terlihat jelas. Tapi aku masih heran, apakah wajah manusia itu memang seperti itu? Wajah mereka bahkan lebih buruk dari kucing hitam yang menemani kelahiranku. Mata mereka bulat merah bercahaya, memancarkan kebencian. Hidung mereka besar seolah selalu mencium bau busuk, dan bibir mereka tak henti-hentinya mengeluarkan air liur yang mungkin bekas cibiran-cibiran. Aku memang tak pernah berkaca pada kaca yang bagus. Tapi aku pernah berkaca pada air kali yang penuh limbah, wajahku tak seburuk itu. Masih serupa manusia. Setidaknya itu yang aku tahu sebagai manusia normal. Aku tak tahu mengapa wajah mereka begitu buruk rupa. Mungkin saja wajah adalah cerminan hati.

Sebab itulah aku takut menghadapi siang. Aku takut pada manusia itu. Bahkan di usiaku yang mendekati kepala tiga ini, aku masih takut. Tiap malam aku selalu berharap bulan tak pernah pergi, karena siang hanya akan memberiku kegelapan yang lain. Aku hanya meneguk alkohol di bangku stasiun tua ini, terkadang bermain domino di bawah lampu jalan yang remang dan kadang mati, atau hanya berbaring di sepetak ruangan. Ruangan yang entah layak atau tidak disebut kamar, dengan botol-botol minuman dan puntung rokok berserakan di lantainya. Dan poster satu tokoh yang menghias dindingnya, yaitu Malaikat Malik. Lengkap dengan latar neraka di belakangnya.

Di kegelapan tengah malam saat aku tidak lagi melihat wajah buruk orang-orang, aku sebenarnya terus mencari cahaya. Setidaknya menambah cahaya lain selain lampu jalan. Karena aku khawatir lampu jalan pun perlahan akan mati untuk selamanya. Aku tidak punya tujuan dalam perjalanan malamku. Hanya berharap mendapat cahaya baik di bumi maupun dari luar bumi. Jika ditanya tentu aku berharap malaikat maut menjemput, tapi aku tidak akan pernah berani mengundangnya.

Ini sudah tegukan ke sekian kalinya. Sudah tidak bisa terhitung lagi berapa teguk yang telah masuk melewati tenggorokanku. Kakiku masih mengayun membelah redupnya cahaya lampu jalan yang memang sudah menyatu dengan gelap. Hembusan angin malam itu membelai tubuhku yang mulai penat pada hidupku sendiri. Hanya sendiri. Tak ada lolongan anjing ataupun serigala, karena lolongan kota ini lebih mencekam daripada lolongan apapun. Hanya kucing hitam yang sudah berupa arwah yang menemaniku. Serta gelap yang terus mengikutiku walaupun sudah berusaha kau usir.

Aku hanya ingin langkahku selanjutnya memiliki arti. Terang dan bercahaya. Aku hanya ingin hari yang sama dengan mereka. Malam yang tenang dan damai, siang yang cerah dan bersemangat. Dan yang terpenting, aku hanya ingin melihat wajah-wajah manusia normal. Wajah yang tercermin dari hati yang bersih. Wajah tanpa cibiran, bila perlu tanpa aturan yang mengikat mereka tentang kotak-kotak sifat manusia yang tak mungkin tertukar atau bersatu.

Namun jalanku terlalu panjang dan berliku. Setiap belokan seperti menuntunku menuju gelap yang lain. Jalan berpenerangan remang itu terlihat lurus namun sebenarnya adalah labirin yang belum dapat aku lewati. Labirin buatan manusia-manusia berwajah seram itu yang tak ingin kotak-kotak kebaikan mereka terkotori oleh kotak-kotak keburukan yang kubawa.

Aku tak dapat menjelaskan kenapa gelap tak kunjung pergi. Kadang aku bosan namun tak ada pilihan lain selain cahaya. Sesekali aku pernah merasakan adanya cahaya dari balik restoran tua di persimpangan jalan raya itu. Orang-orang terlihat bermuka bersih berbincang dengan pasangan mereka. Entah apa yang mereka katakan aku tak bisa mendengar dari luar sini. Toh, bisa mendengar pun aku tidak akan mengerti. Aku hanya tahu mereka orang-orang normal.

Namun saat mereka menyadari kehadiranku, dengan gelap di belakangku. Wajah mereka menjadi seram, mata mereka menjadi merah bercahaya, dan yang paling menyeramkan adalah tawa mereka yang jahat. Aku berlari entah menuju siapa, karena hanya gelap yang akhirmya mendekapku lagi. Membelai dan memberikanku alkohol dan rokok.

Begitu juga dengan bangunan luas bernama panti sosial, bangunan mewah, pengemudi di jalan raya, dan para pejalan kaki. Wajah mereka akan mendadak berubah menjadi seram saat mereka menyadari ada aku. Wajah adalah cerminan hati, hati mereka berubah saat mereka melihat aku.

Aku tidak protes pada mereka. Aku tidak melawan. Hanya satu alasannya. Aku takut melihat wajah mereka. Aku takut karena mereka terlihat jahat. Aku takut pada tawa mereka yang meremehkan yang bahkan lebih jahat dari olok-olok temanku di pinggir kali yang penuh limbah. Aku hanya bisa berlari menghindari mereka. Tapi aku tak akan menyerah demi sebuah cahaya. Cahaya yang aku yakini akan mencerahkan hidupku.

Aku masih berjalan menyusuri labirin. Saat berlari kembali, aku mengambil jalan yang lain. Saat bertemu dengan manusia-manusia seram itu aku akan mencari jalan lain. Lama kelamaan tubuhku lelah, jiwaku juga. Jenuh selalu ingin hinggap saat aku masih menunggu di dalam tanya yang besar tentang dimanakah cahaya berada. Lama-kelamaan tekadku berkurang, sampai akhirnya jiwaku hanya bisa berbisik kepada dunia. Hanya bisikan pada dunia yang selalu meremehkan orang-orang seperti diriku. Dan doa. Doa yang baik aku kira adalah bisikan yang lirih dan tak terdengar oleh siapapun.

Dan sampai saat ini. Malamku tetap beda dengan malam orang kebanyakan. Malamku tetap hanya nama, sedangkan gelap dan misterinya tetap menjadi kehidupanku. Hanya ada satu cahaya yang menemani, cahaya lampu jalan yang remang dan kadang mati. Bahkan sekarang sudah lebih sering mati.

IndraRama

Jakarta, 20 September 2014 03:14

2 komentar :