Rabu, 12 Juni 2013

Membatik Cinta di Kota Batik


“Bosan menghabiskan waktu di Semarang, saya mencoba ke Kota Batik, Pekalongan.”


Sabtu 18 Mei 2013, saya memutuskan m
engakhiri perjalanan Kereta Tawang Jaya saya di Stasiun Pekalongan. Di Kota Batik ini saya dan pacar saya menghabiskan H-1 13 bulanan kami. Sekitar pukul 6.00 saya di jemput dan menuju ke rumah nenek pacar saya di daerah Kajen, Kabupaten Pekalongan. Perjalanan pagi itu adalah perjalanan melepas kangen setelah 2 bulan terpisah oleh rel kereta yang membentang. Sampai disana saya beristirahat sejenak sambil menikmati secangkir kopi buatannya yang rasanya berkali-kali lebih nikmat sambil bersiap-siap untuk pergi. Suasana rumahnya nyaman karena letaknya di pinggir jalan, ada warung dan halaman yang luas.

Setelah siap, kami berangkat untuk membatik cinta di Kota Batik. Perjalanan yang selalu saya rindukan dengan lingkar lengannya di pinggang sepanjang jalan. Suasana pagi yang cerah mengiringi kami menuju tempat Wisata Keluarga Linggoasri yang letaknya di lereng pegunungan Dieng ke arah selatan Jalan Raya Kajen. Tiba disana ternyata tempatnya sepi dan hanya ada tanah lapang dan gazebo-gazebo tanpa pemandangan yang wah. Jadi kami hanya berfoto sedikit disana.

Puas berfoto, kami “turun gunung” menuju Kota Pekalongan yang penuh warna selaras dengan ciri batik pesisir Pekalongan. Canda tawa dan kadang perdebatan selalu tercipta sepanjang perjalanan, tapi itulah cinta kami yang membuat kami bertahan sejauh ini. Destinasi pertama kami yaitu Museum Batik Nasional di Jl. Jetayu yang memajang koleksi-koleksi batik Nusantara. Disana, segala kewibawaan, keanggunan, dan dan cinta tercurah pada lembaran-lembaran kain batik dengan corak dan maknanya masing-masing. Tidak hanya dari Jawa, batik-batik luar Jawa yang menggambarkan kehidupan juga terpajang disana. Tak mau ketinggalan, kami mencoba mencurahkan segala kesabaran, ketelitian, dan cinta pada selembar kain dengan tulisan “Pradhany”. Dengan kesabaran dan ketelitian kami berhasil menutupi garis-garis tepinya dengan lilin (malam) yang disediakan. Kain itulah yang menggambarkan cinta kami di Kota Pekalongan ini.

Makan bareng pastinya adalah event wajib saat bepergian. Selesai berkeliling di Museum Batik, kami menuju tempat makan di Wiradesa dengan menu ayam panggang khas Pekalongan. Di perjalanan kesana hujan turun, tanpa jas hujan akhirnya kami basah-basahan. Tapi hujan memberikan romantisme sendiri, seolah-olah rintangan dalam mencapai tujuan yang harus kita lalui bersama seperti dalam menjalin hubungan. Menikmati makan siang di kala hujan malah memberikan suasana kehangatan bagi kami. Saat hujan reda dan makanan sudah habis, kami melanjutkan menuju International Batik Center (IBC) untuk berkeliling –tanpa membeli. Di sinilah kami mengukir kenangan dalam beberapa jepretan kamera.

Perjalanan hari itu ditutup dengan makan malam di Warung Sego Megono dan minum Kopi Tahlil di depan gedung PPIP. Kemudian kami pulang. Sepanjang perjalanan kami nyanyi-nyanyi lagu daerah yang kami tidak tahu kenapa dan maksudnya apa bisa tiba-tiba nyanyi-nyanyi.

Esok paginya kami menuju kota Semarang menggunakan bus. Event itulah yang pertama kali kami lakukan, naik bus bareng sekitar 2 jam. Dia tidur bersandar di bahu saya sambil berpegangan tangan, rasanya keindahan momen itu melengkapi perjalanan –membatik cinta– kami sebelum 2 bulan harus terpisah lagi.




Tidak ada komentar :

Posting Komentar