Senin, 25 Agustus 2014

Tentang Teratai

Hancur sudah niatku untuk menyudahi perasaan cinta ini. Melebur lagi menjadi udara, yang hanya bisa dirasakan tanpa pernah bisa aku sentuh. Cinta yang ideal dari buku-buku filsafat yang sudah hampir lima tahun fisiknya berserakan di kamarku dan isinya berserakan di otakku. Menjejali otak dengan segala hal tentang cinta ideal yang tidak kunjung berani kusampaikan pada siapapun. Bahkan pada tokoh yang aku jadikan sebagai pembangun cinta ideal itu di otakku. Buku-buku itu menyebutnya sebagai cinta platonis. 

Plato menyatakan gagasannya bahwa kehidupan paling indah adalah khayalan. Dalam pikiran, itulah tempat paling ideal untuk menumbuhkan sebuah hidup yang ideal pula untuk menuju kehidupan utopis. Begitu pula dengan cinta, baginya cinta yang sudah dinyatakan adalah cinta yang tidak ideal. Karena dengan cinta melebur ke dunia nyata, maka aturan main tentang cinta harus kita patuhi. Tak akan bisa lagi kita merancang segala kisah cinta kita sesuai semua yang kita kehendaki. Kenyataan, itulah batasannya.

Benar sekali apa yang dia katakan, aku menjalaninya hingga saat ini. Sekarang, saat aku mencoba meninggalkan konsepnya, aku harus menghadapi kenyataan melihatmu benar-benar telah menjadi sebuah bunga teratai.


Bunga teratai. Bunga yang selalu elok, indah, dan bercahaya di tengah lumpur yang hitam, menjijikan, dan baunya membuat semua orang mengeluarkan semua isi perutnya. Itulah kamu, tak bisa lagi kutemui untuk mengakhiri cinta platonisku yang sudah beranjak akut. Aku hanya bisa memandangmu bertengger anggun di tengah lumpur-lumpur sambil membangun kembali cintaku yang tak pernah bisa keluar menuju realita. Aku terima lagi kenyataan bahwa realita cinta tak seindah cinta dalam khayalan.

Terlalu muda untuk sebuah perasaan. Aku bahkan tidak tahu apa namanya. Hanya kebahagiaan yang aku rasakan setiap aku melihatmu bermain lompat tali di halaman sekolah. Gerai rambut panjangmu yang beberapa kali kau sibakkan saat dia menutupi matamu. Mengganggmu dalam permainan lompat tali yang kamu mainkan dengan teman-temanmu. Aku menerka perasaan bahagia itu muncul salah satunya dari apa yang kamu lakukan. Bukan, ternyata bukan yang kamu lakukan. Tapi kamulah yang memunculkan perasaan ini. Bagaimanapun cara penyampaiannya aku tidak peduli. Aku merasakan kamu adalah sumbernya.

Belum genap usiaku sepuluh tahun. Tak banyak pengetahuanku untuk menyimpulakan apa yang aku rasakan ini. Aku hanya terus ingin merasakan perasaan bahagia ini. Aku mulai memperhatikanmu, tanpa pernah tahu apa tujuanku memperhatikanmu. Hanya sedikit aku mendengar kata cinta. Ibu dan ayahku cinta padaku lalu Tuhanku juga katanya cinta padaku. Aku tak pernah tahu kalau aku juga boleh dan bisa mencintai seseorang.

Apakah ini cinta? Tetapi, apa itu cinta? Harus dibagaimanakankah jika ini adalah cinta ? Jika bukan, kenapa aku selalu ingin menengok ke arahmu? Kenapa jika ada yang dekat dengan perempuan akan diejek oleh teman-teman sekelas? Apakah cinta adalah bahan olok-olok?

Aku terlalu dangkal untuk menjawabnya. Terlalu takut juga untuk mencari jawabannya. Aku bukanlah anak yang pandai, juga tidak bodoh, tidak nakal juga tidak terlalu culun untuk jadi bahan olok-olok. Aku hanya anak biasa yang tidak masuk kategori pusat perhatian. Hanya penyendiri dalam khayalan-khayalan yang kali ini tentang kamu. Aku bukan tipe yang berani menerima komentar teman-temanku.

Sampai aku tahu bahwa kita juga bertetangga dan akhirnya kita sedikit lebih banyak bisa saling berbicara, aku hanya dapat membangun dan mempercantik perasaan ini. Bahannya tentu dari kamu. Dari caramu berjalan saat masuk ke kelas, saat kita kebetulan harus berdiskusi dalam satu kelompok belajar, saat di kampung kita berangkat mengaji, saat kelompokku iseng-iseng menggoda kelompokmu di sela-sela salat tarawih bulan Ramadhan, caramu tertawa dan serius belajar, dan caramu melamun di koridor kelas saat pertama kali tak sengaja pandanganku dari jendela kelas melahirkan perasaan ini.

Sampai aku harus meninggalkan desaku untuk melanjutkan pendidikan ke kota. Aku hanya memiliki bekal khayalan tentang kamu yang mulai terlihat indah namun tetap tak tersampaikan. Kamu telah tumbuh menjadi bunga teratai. Bunga dari desa yang sanggup mengacau rasionalitasku sekaligus membangun irasionalitas yang tak terbatas. Walaupun saat itu, aku hanya tahu bahwa bunga teratai adalah bunga yang indah. Tanpa tahu bahwa bunga teratai bisa hidup di tengah-tengah lumpur yang kotor dan menjijikan.

Lumpur itu perlahan mulai muncul menglilingi bunga teratai. Dua tahun setelah aku pergi, mulai terdengar desas desus lumpur itu. Sebelumnya, setiap aku pulang terkadang kita bertemu di warung dekat lapangan. Paling sering saat kamu sedang membeli beras. Tak jarang juga kita menghabiskan waktu untuk mengobrol. Dan selama itu pula. Tak pernah terucap sedikitpun kata-kata yang menggambarkan perasaanku. Entah karena aku tidak sanggup, atau memang aku tidak diizinkan.

Desas-desus tentang lumpur yang mulai mengelilingi kehidupanmu begitu vokal. Bahkan aku sendiri sudah menyadari bahwa itu benar. Kamu, bunga teratai, hidup dari pekerjaan di dalam kubangan lumpur kehidupan di pinggiran kota tempat warung-warung karaoke itu menjajakan pelayanannya. Lumpur itu begitu kontras dengan keindahanmu. Mengotori tubuhmu, namun tetap tak pernah mengotori kecantikanmu.

Benar, kenyataan memang kadang tak terlalu indah. Bagaimana mungkin aku yang sedang merintis masa depan sebagai calon penggerak roda perekonomian negeri, setidaknya untukku dan keluarga, harus mendapatkan bunga teratai yang kotor terkena lumpur? Bagaimana mungkin aku sudi berenang melewati lumpur dan memetikmu? Terlalu ekstrim bagiku, keluargaku, bahkan warga di desaku untuk menerima semua itu jika aku menjalankannya. Akhirnya api perasaan ini mulai berusaha kuredupkan. Walaupun tak pernah padam, hanya mengecil menjadi lilin. Aku kembali menjadi penghuni kamar kos di kota dengan berbagai pemikiran ala Karl Marx, Plato, Socrates, William Shakespeare hingga Pablo Picasso. Aku kembali jadi si penyendiri dan pengkhayal.

Dalam hubungan lelaki dan wanita, mencintai adalah takdir dari Tuhan yang tak bisa kita tebak dan tentukan. Sedangkan menikah hanyalah nasib yang bisa kita tentukan dengan siapa kita akan melakukannya. Dan cinta itu yang mulai membesarkan cahaya lilin yang memang tak pernah padam. Perlahan lilin yang meleleh mulai membakar piring penyangga yang memang tebuat dari kain perca. Aku tak bisa membohongi perasaanku bahwa khayalan-khayalan tentang cinta yang ideal darimu mulai muncul lagi.

Cinta itu mulai membangun dirinya lagi di dalam diriku. Cinta platonis, nama itulah yang aku mulai kenal dalam menggambarkan ini semua. Api dari lilin itu terus membesar dan membesar. Menjadi semcam bahan bakar yang siap menerbangkanku menuju teratai di tengah lumpur itu. Ikut terbakar pula pemikiran-pemikiran Plato tentang cinta platonisnya. Setalah paham Plato itu habis, muncullah tekad untuk mewujudkan cinta dalam khayalanku itu. Padamu. Sekuntum teratai yang tetap indah walaupun berlumur lumpur. Putih bercahaya di tengah pekatnya lumpur yang bacin baunya.

Namun harus kuterima kenyataan untuk mengulangi kata-kata: kenyataan kadang tak terlalu indah. Saat sudah mantap tekadku menyatakan perasaan padamu, lumpur itu benar-benar menganggu. Lumpur itu telah berevolusi menjadi lumpur sungguhan. Desaku yang terletak di Pulau Jawa bagian timur diserang oleh semburan lumpur yang hebat. Serupa banjir namun lembek, menjijikkan dan bacin baunya. Lumpur itu menggerus seluruh desaku perlahan-lahan.

Saat itulah, ketika aku pulang, aku mendengar kabar rumahmu tertimbun lumpur saat banjir lumpur besar menghantam desa kami. Dan malang, kau dan ayahmu tidak sempat mengungsi dan masuk pada daftar orang yang ditelan oleh tanah kuburannya sendiri. Bersama harta benda yang kami kumpulkan dengan menggadaikan darah kami, serta korabn-korban jiwa lain yang tertelan lumpur. Bukan lumpur kehidupan, ini lumpur sungguhan yang tidak bisa berkompromi.

Benda lembek yang hitam pekat, menjijikkan dan mengandung zat kimia berbahaya yang bernama “keserakahan” telah menenggelamkan desa kami. Bersama semua kenangan dan tentu saja cinta dan persoalan yang pernah kami hadapi dan diskusikan bersama.

Aku hanya bisa membangun kembali cinta platonisku. Kali ini mungkin untuk selamanya. Aku harus mengakui ajaran Plato itu memang benar, bahwa cinta paling ideal hanya terletak di pikiran. Dalam kenyataan terlalu banyak persoalan yang akan menyoal apa saja tentang cinta. 

Hingga menjelang sore aku hanya berdiri di tepian tanggul sambil memandangi bunga teratai yang muncul di tengah-tengah lumpur yang entah kapan akan berakhir. Sama seperti cintaku. Tak akan pernah berakhir mengisahkan tentang teratai. Bunga yang elok namun berlumur lumpur.


IndraRama
Jakarta, 25 Agustus 2014

Tidak ada komentar :

Posting Komentar