Jumat, 15 Agustus 2014

Peluru dan Sahabat

Aku tahu itu kau. Aku juga tahu kalau ini akan tiba. Hari saat kau akan datang lagi menemuiku. Setelah berita tentang aku dan kelompoku, kelompokmu juga tentunya dulu, tersiar di berbagai media, aku sudah merasa kalau kita akan bertemu lagi. Tak sekedar meramalkan pertemuan, bahkan aku sudah bisa menebak sorot mata seperti apa yang akan menyertaimu saat menemuiku. Dan hari ini, aku tahu itu kau, yang berjalan melewati pintu depan rumah yang baru aku beli tiga bulan lalu dan sekarang menjadi markas baru kami. Ah, firasat sahabatmu ini benar. Aku lihat kau memang membawa serta sorot mata itu, yang aku namai sorot mata harimau.

Entah kau sengaja atau tidak. Tapi hari ini adalah hari saat pertama kau menemuiku. Enam belas tahun lalu. Saat itu aku pertama kali menemukan sorot mata yang mengerikan seperti itu. Penuh dendam, darah, kegelapan namun sekaligus cahaya kebenaran. Jujur saja, aku sedikit percaya bahwa Tuhan itu memang ada setelah menatap matamu lebih dalam. 

Sejak ayahku pamit ke tempat ibadah dan hingga kini tak pernah kembali, aku hanya menganggap rumah ibadah hanyalah bangunan yang lebih luas dari rumahku. Dan Tuhan, ah, hanya dongeng rekaan sama halnya dengan keadilan.


Aku melihat kau masuk ke halaman. Beberapa anggota baru dengan sok jago menghadangmu. Kalian tahu, Nak, bahkan bosmu ini pun tidak pernah berfikir melawannya dengan tangan kosong. Malah dengan senjata pun lebih baik kalian menghindarinya. Untunglah kau segera disambut oleh anggota lamaku. Temanmu juga pastinya. Jadi kau tidak sempat meladeni kroco-kroco itu. Aku tahu ia juga gentar bertemu sorot matamu itu. Sangat terlihat saat kau berjalan dingin menuju ruanganku. Dan ia tampak salah tingkah membuntutimu.
***

Dia juga yang kepalanya kau benturkan ke tembok berkali-kali enam belas tahun lalu. Hingga kini meninggalkan bekas luka di pelipis kirinya.

Malam itu begitu dingin. Bagitu pun bagiku dan dua puluhan pemuda yang bisa aku sebut anak buahku. Di sudut kota yang paling tersudut, membuktikan bahwa waktu adalah sesuatu yang paling lapar. Dia memakan keadaan kami hingga lama-lama menjadi usang, menuju mati.

Kami memang tidak di posisi sebagai orang baik. Bahkan di cap sebagai orang-orang jahat, pengkhianat, pengacau, dan sampah. Atau mungkin kebaikan dan keburukan hanyalah hasil ilmu morfologi. Karena dalam kehidupan kami, orang-orang yang baik itulah yang siap, dengan senapan-senapan dan bayonet, menghentikan setiap gerakan-gerakan orang jahat yang mungkin akan mengganggu mereka. Bahkan saat kami dalam diam sekalipun, tak membuat peluru hingga bensin dan api berhenti meneror kami. Mati menjadi teman baik kami semua. Juga keluarga kami. Rasa berontak menjadi dasar kami harus bertindak lebih dulu melawan orang-orang baik itu.

“Aku ingin bertemu, Wiro!” teriakmu lantang membuatku terkesiap. Dengan belati yang kotor oleh darah yang mengering kau menerobos markas kami.

“Apa maumu?!” Tanya salah satu anggotaku.

“Aku tidak ada urusan denganmu, bawa aku pada Wiro.”

Melihat potensi ancaman. Badar, anggotaku, anak seorang petani yang rumahnya habis dibakar orang-orang baik itu mencoba menghantammu dengan kayu. Namun gagal. Tubuhmu yang kurus memiliki refleks yang baik. Kau berhasil menghindar dan mengunci lengan kekarnya lantas menjambak rambut dan membentur-benturkannya pada tembok. Begitu pula beberapa serangan lain walau akhirnya kau jatuh juga dikeroyok anggotaku. Nyaris saja kau terbunuh kalau saja aku tidak menghentikannya.

“Mau apa kau, bocah?” Tanyaku santai sambil kuinjak lenganmu kananmu yang memegang belati, bermaksud agar kau menjatuhkannya. Namum dengan sekuat tenaga kau tahan genggaman belatimu itu.

“Semalam mereka datang, pria-pria itu membunuh ayahku dan memperkosa adik dan ibuku sebelum membunuh mereka. Aku ingin membalas ketidakadilan ini.” Sorot mata itu, seperti harimau. Aku merasa ngeri.

“Berdirilah!” Kulepaskan injakanku. Tertatih, kau berdiri setegap mungkin.

“Mana asalmu?”

“Desa Kulon.”

“Siapa yang kau maksud mereka?”

“Mereka, orang-orang itu, orang-orang yang selama ini menghantui desaku. Dan aku mendengar kabar, kau mau menghancurkan mereka.”

“Bocah sok tahu. Hajar dia!” Perintahku.

Dalam keadaan seperti itu kamu masih tidak menyerah untuk melawan. Namun kau tidak pernah mengayunkan belatimu. Kau selalu berusaha menangkis dan membalikan serangan kedua puluh anggotaku. Pukulan di perut, dada, dan kepala tidak membuatmu berlutut minta ampun. Kau keras kepala.

“Berhenti!” Kataku sambil menjambak rambutnya. Mata itu menatapku lagi. Aku merasa ngeri. Dan belati itu tidak juga lepas dari lengan kananmu. “Maaf aku tidak bisa mencegah mereka masuk ke desamu. Dan aku turut beduka atas keluargamu. Kita akan hancurkan mereka.” Tambahku melunak kemudian melemparkanmu.

Kau hanya meludahkan darah sambil mengelap darah yang mengucur di ujung bibirmu. Malam itu, kita memulai persahabatan kita. Dan malam itu, sorot mata itu, tak akan pernah bisa kulupakan sampai kapanpun. Kau menceritakan kalau kau adalah anak dari pendiri perguruan silat alam di desamu. Melihat akan menjadi ancaman bagi orang-orang baik, desamu menjadi sasaran keadilan mereka. Dan belati itu, kau temukan menancap di tenggorokan ayahmu saat kau pulang dari desa tetangga.
***

Hidup kami mulai bergerak. Membuat sudut-sudut yang menyudutkan kami menjadi tajam dan kami jadikan belati, parang, dan pedang. Dengan cepat kami bertindak melakukan cara kami sendiri dalam menghadapi ketidakadilan ini. Kami memang tidak bisa disamakan dengan orang-orang tua yang masih mau menunggu perubahan. Kami pemuda, dan kami orang jahat. Dengan segala kejahatan kami yang sebenarnya juga terbentuk oleh kebaikan, kami menghancurkan ketidakadilan yang terjadi. Kau, potensimu luar biasa dan kau lebih dari anggotaku yang lain. Kita menjadi sahabat.

Kami mendatangi markas-markas mereka pada malam hari. Kami serang dengan anggota kami yang makin hari makin bertambah. Saat mereka sadar, kami sudah menyaru dengan malam. Entah menjadi kelelawar, tikus, kecoa, kucing hitam. Kami telah hilang. Ternyata Tuhan hanya muncul demi keadilan, apapun bentuknya.

“Ayahku selalu bilang, ‘jika kau punya masalah dengan orang lain, datangilah rumahnya. Lelaki pantang menunggu penyelesaian, tapi mencari penyelesaian’.” Katamu saat merencanakan penyerangan ke markas orang-orang baik itu.

“Aku merasa akan bertemu orang yang menancapkan belati ini pada tenggorokan ayahku.” Katamu tampak erat menggenggam belatimu.

“Jika iya, kau akan menuntaskannya?”

“Tentu saja. Dan aku akan pergi dari ini semua. Aku lelah membunuh.”

“Kau mengatakannya lagi, dan itu membuatku tak berharap kau membunuh orang itu, kawan.”

Malam itu penyerangan ke markas mereka berlangsung lebih besar. Simpatisan kami makin besar, dan mereka makin kualahan. Tak satupun peluru mampu melukai tubuh kami yang berbalut api kemarahan pada ketidakadilan yang baik. Seperti perang. Benar-benar seperti perang. Sandal melawan sepatu lars, kaos melawan rompi, dan tekad melawan kepengecutan.

Aku terjatuh terhantam pentungan mereka. Terkapar aku agak jauh dari kerumunan. Dan belati di tangan lelaki itu meluncur cepat di depan mataku menuju tepat ke keningku. Dan saat itulah kau tubruk dia dan dengan sekejap kau tindih dia lalu menusukkan belatimu ke tenggorokan orang itu. Kau menyelamatkan nyawaku, lagi. Malam itu akhirnya kau kau lepas belatimu. Namun kau ambil lagi dan aku tahu kau ingin mengenangnya. Seperti telah bekerja sama dengan Tuhan, kami menyaru lagi dengan malam.

Keputusanmu untuk pergi begitu cepat, hingga kita tak sempat merayakan kematian pembunuh ayahmu. Kau menghilang setelah malam itu. Kau bilang entah ingin ke timur atau mungkin berbalik ke selatan. Aku tak tahu pasti kemana kau pergi bersama belati, sorot mata, keberanian, dan kenanganmu.
***

Mereka pintar, ya sangat pintar. Saat intimidasi tak bisa menghancurkan kita, cara paling pintar dan baik mereka lakukan. Mereka memang orang baik karena menawariku menjadi teman mereka. Mereka ingin berdamai dan memenuhi tuntutan kami, asal kami bergabung bersama. Demi cita-cita yang baik, apapun itu.

Kami memang berani, bertekad, dan bersatu. Tapi kami memang bodoh, hanya rakyat jelata. Kami terbuai itu semua. Alih-alih tetap menjaga idealisme kami, kami malah menjadi orang yang pragmatis. Aku sadar, jika kau masih disini tentu kau yang pertama mengacungkan belati saat mereka datang dengan muka berseri seperti itu. Menawarkan semua janji-janji dan pemberian yang tak terbayangkan.

Dan saat semua tersebar bahwa kelompok kita sudah beberapa kali mempraktekan hal yang dulu kita lawan, walaupun tanpa kekerasan, aku tahu akan bertemu denganmu lagi. Itulah malam ini, kau sudah menutup pintu ruanganku untuk kembali bercengkrama dengan tujuan hidup dan pemikiran yang pasti sudah tak sejalan. Hanya tersisa status sebagai sahabat lama yang tak pernah aku lupakan.

“Aku harus membunuhmu.” Sorot mata itu, aku sudah menyangka kali ini ditujukan padaku.

“Ya, aku tahu. Kita sudah bersebrangan, Kawan. Tapi aku tidak pernah berubah, kalau aku tidak akan pernah takut mati.” Kataku sambil menodongkan pistol tepat ke keningnya. Tapi perasaan ini tetap tidak hilang, aku masih saja ngeri melihat sorot matamu. “Dan apapun yang akan terjadi setelah ini, aku selalu menganggapmu sebagai sahabat.”

Saat kau mulai bersiap menghunus belati, saat itu juga aku mulai bersiap menekan pelatuk pistolku. Aku merasa kalau kau akan bisa membelah peluruku dengan belatimu kemudian menusuk tenggorokanku.

IndraRama
Jakarta, 15 August 2014

Tidak ada komentar :

Posting Komentar