Selasa, 19 Agustus 2014

Evolusi atau Revolusi

Dirgahayu Indonesia.

Masih dalam suasana hari kemerdekaan. Tahun ini adalah ke-69 kalinya Indonesia merayakan ulang tahunnya. Tahun ke-69 pula pembacaan teks proklamasi di Istana Negara dikumandangkan dalam upacara bendera yang sakral. Dan ke-69 tahun pula segala masalah, prestasi, serta semua langkah perjalan bangsa sudah berlangsung. Setidaknya secara matematis angka 69 itulah kita sebut sebagai usia bangsa ini.

google.com
Namun, bangsa Indonesia sebenarnya telah terbentuk jauh sebelum itu. Pada abad ke-13 di dalam kitab Negarakertagama pada masa kerajaan Majapahit, kata “Nusantara” pertama kali muncul. Nusantara tersebut meliputi pulau-pulau yang sekarang menjadi wilayah Indonseia dari Sabang sampai Merauke. Pulau yang sekarang bernama Sumatra, Kalimantan, Kepulauan Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi dan Maluku, serta Papua Barat disebut dalam kitab itu sebagai daerah yang berhasi dikuasai kerajaan Hindu-Budha itu. Kitab itu membuktikan bahwa sejatinya sistem negara Indonesia lengkap dengan kulturnya, atau pada zaman dulu adalah kerajaan, sudah terbentuk jauh sebelum angka yang kita peringati.

Melalui gerakan-gerakan revolusioner, akhirnya bangsa Indonesia berhasil menyatakan dirinya sebagai negara merdeka melalui teks pernyataan yang dibacakan oleh Bung Karno. Hal tersebut adalah pengertian kecil dari konsep kemerdekaan. Dan peringatan HUT-RI pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah tanda bahwa bangsa Indonesia telah memiliki kedaulatan sendiri untuk mengatur negaranya tanpa ada campur tangan bangsa lain.

Sebuah ciri yang harus dimiliki suatu bangsa yang merdeka adalah kebudayaan. Karena kebudayaan sebuah bentukan kata yang berfungsi menggambarkan jati diri, kepribadian dan menjadi pijakan suatu bangsa dalam melangkah. Secara umum kebudayaan mencakup semua aspek kehidupan manusia selain apa yang telah diwahyukan Tuhan. Kebudayaan lahir dan dibesarkan dari manusia itu sediri. Kebudayaan itu tak sesempit kesenian atau segala aspek material yang pada zaman sekarang dianggap hal yang kuno untuk diperbincangkan di ranah umum. Kebudayaan secara universal menurut Koentjaraningrat, antropolog Indonesia yang kadang disebut “Bapak Antropologi Indonesia”, yaitu sistem religi dan upcara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan.

Sebagai bangsa yang sudah merdeka melebihi ulang tahun emasnya, tentu telah banyak pengalaman, peristiwa, dan pencapaian dalam perjalanannya. Hal itu membentuk kebudayaan baik yang material maupun mental yang kita rasakan dan kita jalani pada zaman ini. Sekali lagi, tanpa intervensi bangsa lain berarti segala kebudayaan yang ada sekarang adalah hasil dari semua hal yang kita lakukan dalam kehidupan berbangsa.

Kebudayaan yang negatif tentu tak bisa dihindarkan kemunculannya. Budaya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang sangat disorot menjadi contoh nyata bagaimana suatu tindakan buruk di cap sebagai sebuah kebudayaan. Dan jika dipertahankan akan menjadi jati diri bangsa Indonesia. Lebih dari itu, mulai terbentuknya budaya senyum yang negatif, yaitu senyum ceria para terpidana korupsi di televisi menandakan hasil dari perjalanan bangsa selama ini menghasilkan kebudayaan yang demikian tidak warasnya. Dan kewarasan itu tentu saja berkaitan dengan mental yang terbentuk dari zaman ke zaman. Semua sudah mengakar pada mental kita. Dan kita akan meng-amin-i kata-kata Bung Karno berikut : “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Tak hanya bangsa sendiri yang harus kita lawan. Bahkan bangsa lain pun ikut memanfaatkan mentalitas kita. Kembali menjadi penjajah dengan cara-cara yang “lebih baik”. Zaman dulu bangsa kita tidak menelan bulat-bulat budaya dari luar. Contohnya wayang. Kesenian yang inti cerita dan filosofinya datang dari India dengan latar belakang agama Hindu tersebut tidak serta merta ditelan. Namun dikaji dan diselaraskan dengan kebudayaan yang ada. Maka munculah tokoh-tokoh asli Indonesia yaitu Punokawan (pada wayang jawa terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong). Beberapa sumber menyebutkan Punokawan lahir dari tangan Sunan Kalijaga sebagai sarana menyebarkan agama Islam. Pernah juga dipentaskan pertunjukan wayang Mahabarata, dimana kelima Pandawa adalah gambaran dari kelima sila pada Pancasila. Hal tersebut karena saat itu Indonesia merasa sebagai pemilik kebudayaannya sendiri, sehingga budaya yang masuk harus ditrasformasi atau di-merge dengan budaya kita.

Lain halnya dengan sekarang. Walaupun kebudayaan adalah sesuatu yang bergerak, namun bukannya menggerakan kebudayaan lama bangsa, malah berlari kencang mengikuti kebudayaan asing yang masuk secara terstruktur, sistematis, dan masif. Meninggalkan budaya-budaya bangsa sendiri. Dan itu menunjukan rasa rendah diri sebagai bangsa merdeka dengan segala warisan budaya leluhur, yang berpotensi mempersilakan penjajah untuk masuk kembali. Lebih berbahaya lagi karena penjajah kali ini bermain cantik di titik paling sulit dilawan bahkan dideteksi yaitu mental.

Kado ulang tahun ke-69 bagi Indonesia adalah presiden baru. Bukan hanya wajah orangnya yang baru tapi Indonesia lebih membutuhkan konsep yang baru dalam meperbaiki apa yang selama ini salah. Tak terkecuali memperbaiki mental. Maka muncullah kata “Revolusi Mental”. Apakah bisa terealisasi ? Agaknya untuk suatu revolusi itu akan sulit. Karena revolusi berarti perubahan yang instan dan cepat. Sedangkan untuk membentuk sebuah kebudayaan dibutuhkan sebuah konsep “pendidikan seumur hidup/long life education” yang bekerja secara konsisten. Hal itu karena perubahan sebuah kebudayaan mental tumbuh secara evolutif dari masa ke masa dan tak akan berakhir di satu titik. Juga tidak serta merta dapat dirasakan langsung.

Sebuah revolusi idealnya dibentuk dari evolusi-evolusi yang baik, revolusi industri di Inggris tak akan terjadi tanpa evolusi-evolusi mental seperti kedisiplinan, kerja keras, konsistensi dan sebagainya. Tanpa itu, revolusi hanya akan menjadi perubahan yang tak berarti, revolusi 1998 pun malah berubah dari yang tadinya korupsi memperkaya diri sendiri menjadi korupsi untuk memperkaya banyak orang.


Namun, dengan pemimpin yang baru nanti, yang semoga saja sudah mengalami evolusi-evolusi mental yang baik dalam dirinya, diharapkan sudah dapat menerapkan sebuah revolusi yaitu “Revolusi Fisik”. Karena bagaimanapun Indonesia membutuhkan sesuatu yang cepat dan instan. Secara kongkret bisa dilakukan dengan revolusi birokrasi, revolusi hukum, revolusi kebijakan dan lain sebagainya. Sehingga membentuk semacam iklim pembelajaran demi sebuah evolusi mental yang mengarah ke yang lebih baik. Dan dalam perjalannya ke depan perlahan membentuk kebudayaan yang dapat menjadi jati diri bangsa yang dapat dibanggakan.

IndraRama
Jakarta, 19 Agustus 2014 08:50


Tidak ada komentar :

Posting Komentar