Minggu, 26 Oktober 2014

Keroncong. Dulu, Sekarang, dan Nanti

Bukan sesuatu yang berlebihan jika mengatakan bahwa musik adalah bidang kesenian yang paling banyak peminatnya. Dibandingkan kesenian lain seperti seni lukis, seni peran, dan sastra, seni musik lebih luas pemintanya karena pengembangannya dapat relatif lebih luas. Variasi dan alirannya lebih mudah dipadu-padankan untuk menghasilkan sebuah musik yang baru. Musik dengan nada-nada yang dihasilkan cenderung lebih dapat melekat dalam rasa orang-orang dibandingkan kesenian lain yang setidaknya mengharuskan untuk sedikit mengerti teorinya.

Pameran Oganologi

Disamping keragaman musik etniknya, Indonesia menyimpan warisan musik yang merupakan hasil dari akulturasi beragam budaya. Hasil evolusi musik Portugis asal bangsa Moor, Cina, dan tak lepas dari peran Jakarta tempo dulu sebagai pusat perdagangan laut Nusantara. Musik inilah yang kemudian disebut musik keroncong.

Melihat kebesaran nama dan sejarah musik keroncong, Dewan Kesenian Jakarta melalui Komite Musik-nya mengangkat judul “Keroncong : Riwayatmu, Kini..” pada acara Pekan Komponis 2014 yang berlangsung dari 21-26 Oktober 2014.


Ajang tahunan ini secara umum mempertemukan para komponis muda dan komponis senior dalam menggarap dan memperkaya satu komposisi musik yaitu keroncong. Mereka berbagi panggung dalam menghidupkan kembali roh keroncong dengan genre mereka masing-masing. Dengan gaya bermusik berbeda, mereka mencoba mengeksplorasi, mengemas dan menampilkan keroncong menjadi sebuah bunyi baru. Menciptakan harmoni keroncong dan menjadikan warna musik keroncong dalam konteks kekinian. Disamping pertunjukan, acara lain yaitu diskusi, pameran, dan pemutaran film bertema keroncong juga dihadirkan.

Gambang Keroncong

Seperti yang dikatakan salah satu komponis Donny Koeswinarno bahwa keroncong itu seperti musik blues. Memiliki sebuah pola chords yang sama dalam penciptaannya. Sehingga, asalkan dapat mengikut pola tersebut maka beragam aransemen baru dapat diciptakan.
Altajaru Ensamble

Hal inilah yang juga dilakukan oleh salah satu kelompok musik, Altajaru Ensamble. Tampil pada hari Sabtu, 25 Oktober 2014 sebagai penutup, mereka berhasil membawa penonton menikmati paduan musik gambang kromong dengan cengkok keroncong yang tidak hilang.

Mereka sama sekali tidak menggunakan instrumen utama keroncongnya, yaitu ukulele cak dan cuk serta kontra bass yang biasanya berfungsi sebagai pengatur ketukan atau kendangan. Instrumen yang mereka gunakan justru instrumen utama orkes Gambang Kromong. Itulah mengapa Raras Miranti, pengajar seni musik Institut Kesenian Jakarta, menyebutnya Gambang Keroncong. Mereka mencoba menyamarkan paradigma bahwa instrumen tertentu, dalam hal ini orkes gamelan Gambang Kromong, tidak hanya diperuntukan untuk musik-musik daerah tertentu.

Membawakan tiga buah lagu, yaitu Keroncong Kemayoran, sebuah stambul, dan Gambang Semarang, Altajaru Ensamble menyajikan sebuah bunyi baru yang terdenganr lebih dinamis dan progresifitas yang variatif walaupun unsur keroncongnya menjadi samar.

Sang Ikon

Selain para komponis dengan bunyi baru mereka, tak lengkap jika tidak dihadirkan para “penjaga gawang” musik keroncong. Salah satu yang tampil adalah Sundari Soekotjo. Penyayi keroncong wanita yang konsisten melestarikan budaya keroncong.

Sundari sebagai salah satu ikon keroncong Indonesia itu berhasil membuat Panggung Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki realtif penuh pada hari Kamis, 23 Oktober 2014. Dia membawakan lagu-lagu populer seperti Gethuk, Keroncong Bandar Jakarta, lalu Sang Maestro, Gesang yaitu Bengawan Solo, dan dua lagu yang seperti lagu wajib pada acara ini yaitu Keroncong Kemayoran dan Gambang Semarang. Beliau juga berduet dengan penyayi keroncong betawian, Inesh dan anaknya sendiri, Intan Soekotjo.

Sundari Soekotjo
Dengan pembawaan seperti pada acara keroncong di TVRI dan RRI, Sundari benar-benar membawa panggung keroncong kembali di pertunjukan secara “megah”.

Sebagai seorang yang dapat dikatakan senior di dunia musik keroncong, Sundari tetap memberi lampu hijau pada para komponis dalam mengutak-atik musik keroncong menjadi berbagai macam bunyi baru. Dengan bijak dia mengatakan bahwa dengan anak-anak muda mulai mendekati keroncong dalam membuat karya mereka, atau menjadikan keroncong sebagai insipirasi musik, maka para pemain keroncong yang asli seperti dirinya dapat lebih mudah dalam meberikan pengajaran tentang bagaimana sejatinya musik keroncong yang sebenarnya.

Kurang dikenalnya musik keroncong oleh generasi muda tidak hanya menjadi tanggung jawab seniman. Namun media, produser, dan pemerintah juga harus ambil bagian. Kurangnya promosi dan penampilan musik keroncong di panggung publik yang luas menjadi salah satu faktornya. Dan paradigma keroncong sebagai musik orang tua juga masih melekat.

Semoga dengan adanya bunyi baru pada musik keroncong ini dapat mengangkat kembali musik keroncong yang dapat dikatakan sebagai musik Nasional. Keroncong yang dulu, dengan unsur kekinian demi masa depan tradisi warisan bangsa.

IndraRama
Jakarta, 26 Oktober 2014

Tidak ada komentar :

Posting Komentar